Search
Close this search box.
Dr Faizah Ali Sibromalisi (photo : republika.co.id)
Dr Faizah Ali Sibromalisi (photo : republika.co.id)

Ourvoice.or.id. Budaya yang semakin terbuka dan bebas menghadapkan perempuan pada lebih banyak tantangan dan ujian. Sebagai dampaknya, perempuan sangat mungkin akan melupakan peran dan fungsinya atas nama emansipasi dan hak asasi. Padahal, sebagai khalifah, baik laki-laki maupun perempuan diberi kesempatan yang sama untuk beribadah dan beramal shaleh melalui fungsi dan peran mereka masing-masing.

Hal itu dipaparkan dosen sekaligus pakar tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Faizah Ali Sibromalisi. Menurutnya, permasalahan perempuan tidak mengenal waktu atau era tertentu. “Di zaman Kartini atau di zaman modern, perempuan hidup di dalam ujian,” kata peraih gelar doktor dari Universitas Al-Azhar Kairo itu.

Berikut kutipan wawancaranya dengan reporter Republika, Devi A. Oktavika. Bagaimana sesungguhnya Islam berbicara tentang kedudukan laki-laki dan perempuan?

Dalam Alquran, Allah berbicara tentang laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek, termasuk aspek pribadi, sosial, maupun gender. Gender itu bukan kodrati, bukan pula sesuatu yang fisis atau jasmaniah. Ia merupakan hasil bentukan pemikiran manusia yang dipengaruhi budaya, termasuk agama dan adat-istiadat. Prinsip dasar penciptaan laki-laki dan perempuan berkaitan dengan kemitraan antara keduanya.

Hal itu tertulis dalam surah An-Nisa’ ayat 1, yang berbunyi “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” Setelah menjelaskan tentang penciptaan laki-laki dan perempuan, Allah mengakhiri ayat tersebut dengan firman “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.

Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” Senada dengan ayat di atas yang memposisikan laki-laki dan perempuan dalam hubungan sosial, firman Allah yang lain pada surah At-Taubah ayat 71 berbunyi, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.” Selain itu, ada banyak ayat Alquran yang secara jelas menyebut laki-laki dan perempuan.

Allah menyebut keduanya sebagai makhluk paling mulia di bumi yang diciptakan dari zat yang sama dan, yang terpenting, keduanya mempunyai tugas. Salah satu tugas itu adalah mengabdi kepada Allah SWT. Hal itu tidak terlepas dari fungsi manusia, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai khalifah di bumi. Dan Allah, sebagaimana dijelaskan dalam surah Hud ayat 61, menciptakan manusia dari tanah dan menjadikan mereka pemakmur alam semesta.

Nah sebagai khalifah, manusia harus mengembangkan potensi dirinya, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Kualitas kita sebagai manusia dapat ditingkatkan, misalnya, dengan memaksimalkan peran dan kebermanfaatan kita bagi sesama. Sedangkan potensi secara kuantitas dapat ditingkatkan dengan cara berpasangan.

Berbicara tentang emansipasi, kita bisa merujuk pada bagaimana kehidupan perempuan pada masa sebelum kedatangan Islam. Pada masa jahiliyah, wa’dul banat (membunuh anak-anak perempuan) mengancam hak hidup perempuan. Kemudian Islam datang dan Alquran surah Al-Isra’ ayat 31 berkata, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami lah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” Perintah yang sama terdapat pada ayat ke-151 dari surah Al-An’am. Selain itu, dalam surah Ali ‘Imron ayat 190-191, Allah menyebut kata-kata ulul albaab yang berarti “orang-orang yang berakal.”

Meski merujuk pada laki-laki, kata-kata tersebut juga ditujukan bagi perempuan. Hal itu terlihat pada ayat 195 dalam surah yang sama, di mana perempuan disebutkan secara tegas dalam firman “…Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.”

Semua ayat itu menunjukkan bahwa potensi laki-laki dan perempuan adalah sama di sisi Allah. Dan itu menunjukkan pula bahwa Islam telah mengangkat derajat perempuan dari posisi terhina dan menyejajarkan mereka dengan laki-laki. Alquran surah Al-Ahzab ayat 35 secara tegas berbicara tentang ampunan dan pahala yang dijanjikan Allah bagi laki-laki ataupun perempuan Muslim yang beramal shaleh.

Allah tidak membedakan keduanya. Adapun gender, Islam tidak mengenal itu. Penciptaan laki-laki dan perempuan bukan sebagai pembeda antara keduanya, melainkan untuk menumbuhkan fungsi komplementer dari keduanya. Ayat ke-49 surah Adz-Dzarriyyat berbunyi, “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” Sedangkan dalam surah Al-Baqarah ayat 187 Allah berkata, “…Mereka itu (istri-istrimu) adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka.” Maka jelas bahwa keberadaan laki-laki dan perempuan adalah untuk saling melengkapi satu sama lain.

Dalam konteks hubungan kemitraan dalam keluarga, hubungan antara laki-laki dan perempuan (suami dan istri) memiliki makna yang lebih dalam. Dalam pandangan Islam, pernikahan tidak saja tempat bertemunya laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Lebih dari itu, pernikahan menjadi ladang ibadah dan mu’asharah (hubungan yang baik).

Masa R.A. Kartini yang dikenal sebagai pejuang emansipasi perempuan di Indonesia merupakan gambaran masa jahiliyah di Tanah Arab sebelum kedatangan Islam, yang terjadi di zaman modern. Di sisi lain, sosok Kartini dan sejumlah tokoh perempuan lainnya menjadi bukti bahwa secara intelektual, kemampuan perempuan tidak berbeda dengan laki-laki.

Sumber : www.republika.co.id