Ourvoice.or.id. Tak selamanya waria menjadi kelompok yang termarjinalkan. Seorang waria di Yogyakarta, Mariani, justru menjadi panutan lantaran mendirikan Pondok Pesantren Al Fatah Senin-Kamis yang merupakan pesantren waria di Kampung Notoyudan, kelurahan Pringgokusuman, Kecamatan Gedongtengen, Yogyakarta.
Di pesantren yang didirikan Mariani pada Juli 2008 ini, para santri waria ini bebas memilih apakah mengenakan sarung atau memamkai mukena dalam melakukan ritual ibadah mereka. Tidak ada paksaan dan sesuai dengan keyakinan dan ketulusan hati mereka dalam menghadap ke hadirat Allah SWT.
“Kami sediakan sarung dan mukena untuk salat. Terserah mereka, nyamannya beribadah pakai apa, bebas,” kata Mariani, waria pemilik sekaligus pendiri pesantren saat berbincang dengan merdeka.com di pesantren yang juga menjadi tempat tinggalnya, Sabtu(3/11).
Awalnya, pesantren itu hanya dihuni oleh 10 orang waria. Namun, sampai saat ini sudah ada sebanyak 25 waria yang bergabung menjadi santri. Mereka berasal dari beberapa daerah di antaranya dari Medan, Padang, Mataram, Surabaya, Tasikmalaya, dan Yogyakarta. Mereka semua kos di Kota Gudeg.
“Di sini kami mengajarkan teman-teman untuk beribadah. Orang beribadah itu kan untuk mencari surga. Untuk mencari surga tak terbatas jenis kelamin dan pakaian. Yang bisa dijamin masuk surga itu adalah yang bertakwa pada Allah SWT,” kata Mariani.
Sedikitnya jika ada kegiatan pengajian dan saat Ramadan tiba, paling tidak sebanyak 225 waria yang ada di DIY ikut kegiatan. Namun yang terdaftar di Ikatan Waria Yogyakarta saat ini hanya 120 waria.
Ratusan waria yang ikut kegiatan pesantren Mariyani ini memiliki bermacam-macam latarbelakang profesi. Ada yang jika siang hari mereka mengamen, ada yang punya usaha sendiri, bekerja di LSM, bekerja di salon, dan lainnya. Status dan latar belakang mereka, bagi mariani tidak dipersoalkan. Niatan mereka yang pasti adalah datang, berkumpul bersama dan menjalankan ibadah untuk mendapatkan pahala dan ketenangan batin mereka masing-masing.
Maryani merasa terpanggil untuk mengumpulkan teman-temannya sesama waria di Ponpes Al-Fatah Senin-Kamis yang dia dirikan. “Waria juga manusia yang ingin beribadah. Ingin sujud di hadapan Allah,” ujar waria kelahiran Yogyakarta, 15 Agustus 1960 ini.
Mariyani mulai aktif dalam pengajian yang diasuh Kiai Amroni sekitar 20 tahun silam. Dialah satu-satunya waria di antara sekitar 3.000 jamaah yang aktif mengikuti pengajian tersebut. Dari kondisi itu, Maryani lalu berpikir untuk memberikan wadah bagi kaum waria agar bisa bebas menjalankan ibadah tanpa harus menghadapi penolakan dari berbagai pihak.
“Kadang waria ingin masuk ke masjid saja dilarang. Di sini mereka bisa beribadah dengan bebas,” tegasnya.
Bagi Mariani, kehidupan di dunia ini, tidak lebih dari perhentian sementara menuju dunia yang kekal dan abadi. Tempat itu adalah di neraka maupun di Surga yang akhirnya bermuara di Surga. Maka, dia merasa perlu mengisi kehidupannya di dunia dengan hal-hal positif seperti mendirikan pesantren khusus waria.
“Satu saat diminta atau tidak diminta, kita sewaktu-waktu pasti naik keranda. Nah, saya perlu nyari sangu dulu kalau sewaktu-waktu ditimbali Gusti Allah,” jelas Mariani.
Sebelum menetap di kampung halamannya, Mariani sempat malang melintang bertualang di beberapa kota lain. Mariani pernah bekerja sebagai petugas cleaning service sekaligus penata rambut di sebuah salon di Semarang. Tak hanya itu, kehidupan malam pun sempat dicicipi. Namun, setelah tabungannya dirasa cukup, dia mulai membuka salon sendiri di rumah. Bahkan, kini Mariani bisa mempekerjakan beberapa kawannya sesama waria.
Selain salon dan pesantren, hidup Mariani makin lengkap dengan kehadiran gadis cilik Rizki Ariani yang dia adopsi sejak berumur satu setengah hari.
“Saya memberi nama Rizki karena Allah telah begitu banyak memberikan anugerah untuk saya. Sementara itu, Ariani dari nama saya, Mariani,” ungkap Mariani dengan wajah bahagia dan berseri-seri.[war]
Sumber : http://www.merdeka.com