Ourvoice.or.id. Bentrokan mengatasnamakan agama, suku, dan kelompok seperti mewabah di Indonesia dalam dua tahun terakhir. Kekerasan menimpa kelompok Ahmadiyah di Cikeusik (Pandeglang), Syiah di Sampang (Madura), jemaat Gereja Yasmin di Bogor, kekerasan antarsuku di Lampung, konflik antarpreman, organisasi kemasyarakatan dan tawuran pelajar, turut merontokkan kualitas demokrasi di negeri ini.
“Menurunnya toleransi dan solidaritas digunakan untuk mengukur demokrasi. Artinya ada persoalan pada institusi penegakan hukum sehingga kekerasan terus terjadi dalam dua tahun terakhir,” kata Sri Budi Eko Wardani, peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia.
Dia menjelaskan setidaknya ada beberapa faktor penyebab turunnya indeks demokrasi. Pertama, fase kekerasan menguat dua tahun terakhir ini; konflik tanah, antar kelompok, serta tawuran pelajar. Kedua, kecenderungan lahirnya peraturan lokal, misalnya peraturan daerah bertentangan dengan hak asasi manusia. Misalnya kewajiban bisa membaca Alquran lulus sekolah dan ketika menikah serta peraturan gubernur tentang pelarangan Ahmadiyah.
Ketiga, ketika mulai meluasnya fenomena politik transaksional; politik uang, transaksi bersifat emosional primordial, agama, pemilih berdasarkan kesukuan dan kelompok. “Ada mobilisasi kelompok-kelompok tertentu yang rentan terhadap masalah ekonomi dengan gerakan politik uang. Itu bukan ciri demokrasi,” kata dia.
Pusat Kajian Politik UI bersama Lembaga kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Demos) tahun lalu memberi skor indeks 4,99 dalam skala 0 hingga 10. Artinya wajah demokrasi di tanah masih bopeng meski reformasi sudah berlangsung 13 tahun. Secara psikologis, melorotnya indeks itu memberikan peringatan keras tentang demokrasi di Indonesia dibandingkan pelbagai indeks demokrasi lainnya yang menempatkan Indonesia di atas nilai lima.
Artinya, lanjut Sri, kebebasan sipil di Indonesia memang tinggi, produk undang-undang penjamin kebebasan juga banyak, namun dalam kondisi politik dan ekonomi telah terjadi pemusatan terhadap kelompok-kelompok tertentu. “Jadi di masyarakat kita ada kelompok dominan. Pola pikir dan cara berpikir mereka mempengaruhi kelompok minoritas, itu kemudian mempengaruhi indeks,” tuturnya.
Dalam catatan Freedom House, lembaga nirlaba pemantau demokrasi berkantor di Ibu Kota Washington DC, Amerika Serikat, lemahnya kemauan politik membuat kualitas hukum dan demokrasi di Indonesia rendah. Elite politik tidak mempunyai rencana berkelanjutan untuk mengatasi persoalan politik dan sosial ekonomi. Sebaliknya, mereka lebih berfokus mencari dukungan politik dengan cara membeli suara.
Freedom House menempatkan Indonesia sebagai negara bebas penuh dengan nilai hak politik 3, lebih tinggi dibandingkan hak sipil dengan nilai 2 dalam skala 1 hingga 7, dimana 1 untuk paling bebas dan 7 paling tidak bebas. Para ekonom yang melakukan kajian demi kepentingan intelijen ekonomi menempatkan Indonesia pada urutan ke-60 dalam kategori negara demokrasi semu dengan skor total 6,53 dalam skala 1 hingga 10.
Demos juga pernah menilai demokrasi Indonesia berdasarkan empat hal: legal dan hak, representasi politik, pemerintahan demokratis dan bertanggung jawab, serta keterlibatan dan partisipasi warga negara. Demos melakukan survei nasional mulai 2003 hingga 2007, hasilnya indeks rata-rata demokrasi Indonesia 37 dan 47, skala 100.
Meski indeks demokrasi berdasar catatan Demos sedikit meningkat, namun angka 47 skala 100 menggambarkan demokrasi Indonesia masih jauh dari harapan. Pemerintah Indonesia memiliki versi sendiri soal Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), yakni 67,30 dalam skala 0 hingga 100. [fas]
Sumber : www.merdeka.com