Search
Close this search box.

Kentang arahan sutradara Aline Jusrina, salah satu cerita dalam Sanubari Jakarta
Kentang arahan sutradara Aline Jusrina, salah satu cerita dalam Sanubari Jakarta

Ada apa dengan karya bertema LGBT hari ini?

Penulis : Dodi Prananda

Tanpa disadari atau tidak, isu Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender atau yang kerap disingkat dengan LGBT, menjadi isu yang banyak diangkat oleh para kreator seni belakangan ini. Tidak hanya di ranah film, seni sastra baik cerpen dan novel juga menjadikan isu ini sebagai hal yang dirasa menarik untuk diangkat.

Bila melihat produk karya baru bertema LGBT terbaru, sebutlah sebagai contoh untuk seni film layar lebar, Sanubari Jakarta, yang baru dirilis April 2012 kemarin. Sanubari Jakarta sebagai sebuah film layar lebar dengan model omnibus (kompilasi film pendek), mengangkat isu LGBT sebagai cerita utama.

Film tersebut terinspirasi dari kisah-kisah realitas kehidupan cinta sesama jenis yang kerap terjadi di Jakarta. Dengan mengajak para sineas muda, serta sejumlah sutradara yang berasal dari kalangan artis seperti Dinda Kanya Dewi dan Kirana Larasati, Lola Amaria sebagai produser dan juga sutradara salah satu cerita, mencoba menawarkan film ini sebagai suatu bentuk penggambaran kenyataan dalam medium karya seni. Realitas percintaan sesama jenis yang disorot dalam sudut pandang fiksi, hadir dalam sepuluh film pendek seperti ; Malam Ini Aku Cantik (Dinda Kanya Dewi), Lumba-Lumba (Lola Amaria), Untuk ‘A’ (Fira Sofiana), Topeng Srikandi (Kirana Larasati) dan sejumlah film lainnya.

Munculnya karya bertema LGBT ini, mengingatkan kita pada sebuah film berjudul ‘Lovely Man’ karya sutradara kondang, Teddy Soeriaatmadja, yang bercerita tentang seorang anak yang ingin mencari ayahnya di Jakarta, yang kemudian ia ketahui, bahwa ayahnya adalah seorang waria. Gambaran kisah dan realitas yang dihadirkan baik lewat Sanubari Jakarta ataupun Lovely Man, membuat kita menyimpulkan bahwa inilah fenomena yang menimpa masyarakat kota (urban city) atau khususnya mereka yang berada di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Kedua karya tersebut, tampak ingin memberikan konstruksi dan perspektif bahwa; kehadiran kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender sungguh nyata berada di sekitar kita, namun kerap diperlakukan secara diskriminatif.

Tanpa ada maksud membela bahwa Lola Amaria ataupun Teddy sebagai kreator, kedua sutradara ini seperti ingin mengartikulasikan dan mendialektikakan sesuatu yang berada dalam posisi minoritas. Di tengah kekhawatiran sekaligus suara negatif banyak orang terhadap keberadaan kaum biseksual, gay, biseksual dan transgender yang dalam banyak hal cenderung mendapat pertentangan, caci maki, dan cercaan di tengah-tengah masyarakat, dalam karya seni film, kehadiran mereka justru ditempatkan dalam posisi yang strategis sebagai objek.

Dengan dalih bahwa ada tendensi untuk memperkenalkan kepada masyarakat luas bahwa komunitas LGBT ada di tengah-tengah kita, Lola justru punya cara lain untuk menyuarakannya. Dengan sangat hati-hati, tentu juga tak ada maksud baik untuk menghakimi terlebih membela kehadiran mereka sebagai kaum minoritas. Melalui film juga, Lola merasa ia dapat mengartikulasikan sesuatu yang masih dianggap tabu, yaitu percintaan sesama jenis.

Sementara itu, untuk karya sastra semisal prosa, kita bisa mencontohkannya melalui beberapa cerita pendek yang ditulis oleh cerpenis kenamaan Indonesia, Ratih Kumala (sekadar menyebutkan salah satu contoh). Dalam cerpen ‘Tahi Lalat di Punggung Istriku’ merupakan sebuah penggambaran sebuah kisah percintaan terlarang antara seorang istri dan seorang tukang pijat langganan sang istri. Dengan sangat indah, dan tentu tak luput menghadirkan estetika dalam cerita pendek tersebut, Ratih Kumala ingin mencoba menyampaikan bagaimana bila misalkan di tengah kehidupan masyarakat yang masih menganggap cinta sesama jenis adalah suatu hal yang tabu, tetapi hal tersebut justru menimpa tokoh utamanya yang padahal telah bersuami (ikut pada aturan bersama di dalam masyarakat). Cerita pendek tersebut juga termaktub bersama sejumlah cerita pendek bertema sama dalam Un Soir Du Paris (Gramedia, 2010).

Hal yang menjadi permasalahan besar terkait sejumlah karya yang mengangkat isu LGBT bukan pada; bahwa kebebasan berkarya, termasuk dalam mengekspreskan apa saja adalah hak mutlak bagi setiap kreator seni, melainkan, bagaimana tendensi isu yang diangkat sangat bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal dan senantiasa menentang sesuatu yang dianggap menyimpang dari apa yang dipercaya, dipegang teguh dan sebagainya. Kondisi ini, diboncengi pertanyaan, apakah karya bertema LGBT di Indonesia hari ini, muncul sebagai reaksi atas permasalahan dan isu LGBT baik di dunia secara luas dan Indonesia secara sempit, seperti misalkan terpilihnya Miss Universe yang ternyata adalah seorang transgender, atau disaat isu mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Gender digulirkan sehingga sontak mendapatkan respon dimana-mana?

Sementara itu, di sisi lain, ada suara yang mencoba memberikan asumsi bahwa karya LGBT di Indonesia hari ini adalah ‘kelanjutan’ dari hadirnya karya-karya sastrawangi yang dipelopori oleh sejumlah penulis seperti Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, Dewi Lestari dan yang lainnya, yang pada intinya adalah mengharapkan pembelaan terhadap ketertindasan perempuan, sehingga ada keinginan untuk melakukan pembebasan diri.

Memang tidak ada batasan yang jelas mengenai karya sastrawangi dan yang bertema LGBT, sekalipun di dalam keduanya, terdapat benang merah yang sama; tentang bagaimana mereka yang minoritas butuh suatu kemerdekaan, butuh pengakuan dan eksistensi yang sama sebagaimana laiknya setiap manusia yang ada di muka bumi. (*)

sumber : dodiprananda.wordpress.com