Kedatangan Joss Wibisono ke kantor Our voice, Kalibata-Jakarta Selatan, Selasa,(25/9/2012) berbagi pengalaman situasi gerakan hak-hak seksualitas di Belanda. Joss sendiri, adalah seorang warga negara Indonesia yang tinggal dan bekerja selama 25 tahun di negeri kincir angin. Joss bekerja di salah satu radio pemerintahan di Belanda, yang akhirnya radio tersebut ditutup oleh pemerintah Belanda. Kedatangannya ke Indonesia dalam rangka peluncuran buku perdananya yang berjudul “Saling Silang Indonesia-Eropa.”
Dalam kesempatan ini, Joss banyak menceritakan sejarah mengapa perkawinan sejenis akhirnya disahkan di Belanda, sehingga menjadi negara pertama yang melegalkan perkawinan sejenis pada 1 April 2001.
Ide perkawinan sejenis di Belanda, menurut Joss, dilatarbelakangi oleh sejarah kelam pembunuhan massal dan tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh Hitler (rezim Nazi). Pada masa itu, bukan hanya Yahudi, saksi Yehoba, Gipsy yang ditahan dan dibunuh tetapi juga kelompok homoseksual. Peristiwa kelam itulah menjadi tonggak sejarah perjuangan anti-diskriminasi di Belanda, termasuk didalamnya hak-hak homoseksual.
Sistem pemerintahan Belanda untuk urusan perkawinan, secara tegas dipisahkan antara negara dan agama. Pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh negara tidak ada urusannya dengan institusi agama. Artinya, jika ingin menikah secara agama dipersilahkan, tetapi tidak menjadi syarat pernikahan yang diakui oleh negara. Kedua lembaga itu (negara dan agama) mempunyai aturan dan ketentuan berbeda di dalam hal-hal yang berhubungan dengan masalah perkawinan.
Alasan inilah, menurut Joss, yang menjadi dasar dari pernyataan mengapa perkawinan sejenis di Belanda diakui oleh negara. Negara tidak masuk dalam urusan apakah pernikahan ini sah atau tidak sah dalam pandangan agama. Karena menurut Joss, jika sah-nya perkawinan harus mengacu pada aturan agama (seperti aturan di Indonesia) maka akan sangat kecil kemungkinan perkawinan sejenis dapat dilegalkan dalam satu negara. Alasannya di Belanda sendiri terutama pada kelompok agama “ortodoks” masih menolak perkawinan sejenis.
Dalam sejarah Belanda, salah satu pelopor perkawinan sejenis di Belanda adalah Umar Santi. Dia seorang muslim dan keturunan Ambon yang sudah menjadi warga negara Belanda. Umar Santi sendiri adalah anggota partai buruh di Belanda. Sementara, Partai Buruh merupakan salah satu partai yang tergabung dalam kabinet “Ungu,” pihak pemerintah yang meloloskan perkawinan sejenis yang akhirnya bisa disahkan. Kabinet Ungu adalah gabungan dari tiga partai yang ketiga-tiganya tidak termasuk dalam partai yang berbasis agama.
Kampanye hak-hak homoseksual sendiri sudah dimulai sejak pasca perang dunia kedua, yang dilakukan oleh organisasi-organisasi homoseksual seperti COC, sekitar tahun 1948. Walau sebelumnya tentu ada organisasi-organisasi lain yang memperjuangkan hak-hak LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transjender Interseksual dan Queer) di Belanda.
Sekarang ini pemerintah Belanda secara sistematis terus mengingatkan sejarah Nazi bagi generasi muda akan pentingnya toleransi. Untuk itu pemerintah Belanda memberikan pendidikan khusus tentang sejarah Nazi, yang di dalamnya juga diajarkan betapa pentingnya menghormati hak-hak LGBTIQ maupun kelompok minoritas lainnya. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk sekolah-sekolah pemerintah. Tapi sekarang ini, menurut Joss sebagian sekolah-sekolah berbasis agama yang ada di Belanda tidak mau memberikan pendidikan seperti itu. Hal ini menjadi perdebatan tersendiri bagi masyarakat di Belanda.
Tapi walau begitu, isu homoseksual sudah menjadi mainstream dipahami oleh masyarakat Belanda sebagai bagian dari keberagaman manusia sehingga layak untuk dihormati dan dihargai. Pemerintah Belanda terus bercermin dengan sejarah Nazi. Seperti ada kesepakatan bersama, jika melakukan diskriminasi pada kelompok LGBTIQ atau pihak manapun karena identitasnya seperti kembali lagi pada masa Hitler. Era kependudukan Hitler menjadi “momok” yang mengerikan bagi masyarakat Eropa, khususnya di Belanda.
“Walau dalam sejarahnya Belanda adalah wilayah yang sangat toleran, tetapi Belanda sendiri pernah mempunyai kebijakan-kebijakan yang diskriminatif kepada kelompok-kelompok homoseksual,” jelas Joss. Misalnya pada tahun 80 an, perusahaan asuransi sempat melarang kelompok gay untuk masuk asuransi, karena gay dianggap rawan dengan HIV. Selain itu Belanda juga pernah mempunyai kebijakan diskriminatif lainnya, seperti halnya laki-laki (bangsawan) yang dibolehkan untuk memilih dalam pemilu.
“Kalau dibandingkan dengan Indonesia, kita sama sekali tidak mempunyai pengalaman kebijakan diskriminatif seperti itu. Ruang pemilihan bagi laki-laki, perempuan maupun Waria (baca: Transjender) tidak dihilangkan secara formal. Walau dalam prakteknya masih ada masalah di sana-sini. Berangkat dari sejarah itu, semestinya pemenuhan hak-hak LGBTIQ di Indonesia jauh lebih “cepat/mudah” dilakukan bila dibandingkan dengan Belanda yang butuh perjuangan puluhan tahun untuk sampai pada pelegalan perkawinan sejenis,” ungkap Joss.
Berkaitan dengan perkawinan sejenis di Belanda, dari pengamatan Joss, generasi “tua” dari kelompok homoseksual banyak yang menolak/tidak melakukan perkawinan formal/dicatatkan oleh negara. Tetapi bagi kalangan muda LGBTIQ lebih memilih untuk mencatatkan pernikahan formal oleh negara. Joss sendiri menilai bahwa perkawinan adalah urusan personal, sebaiknya negara, agama maupun masyarakat tidak perlu ikut campur dalam urusan ini. (Hartoyo)