Tulisan ini berawal ketika suatu siang, kami berbincang di suatu rumah makan. Rumah makan sederhana tapi cukup melegakan dari panas terik yang menyengat. Kami berbincang sambil menikmati makanan yang disediakan. Di sebelah kami ada sepasang kekasih yang juga sedang menikmati makan siang pula. Satu piring berdua, dan sesekali suap-suapan! Duh, mesra banget! Melihat saya yang sesekali melirik ke arah pasangan itu, teman saya nyeplos “iri, ya mas?”. Belum sempat saya balik menyerang teman saya itu, ia menambahkan: “sama pasangan lesbian kok iri!”. Hah?! Saya kaget bukan main. Lesbian? Apa saya salah lihat? Keduanya seperti pasangan lawan jenis yang nyaris sempurna: yang satu terlihat perempuan yang sejati, yang satunya terlihat lelaki. Benar-benar saya tertipu, tertipu dengan sempurna. Ternyata, yang berdandan ala lelaki itu perempuan! Ingin saya kucek mata saya lagi, tapi akhirnya saya yakin memang keduanya perempuan. Jadi, mereka pasangan sejenis?!
Terus terang, meski bukan berasal dari lingkungan yang puritan, tapi tetap saja saya merasa aneh. Entahlah. Banyak pertanyaan aneh yang muncul dalam pikiran saya. Meski saya toh juga pernah mendengar tentang kisah-kisah percintaan seperti ini. Tiba-tiba saya merasa kasihan dengan perempuan itu. Bagaimana bisa ia yang ayu, berambut panjang, dan ber-bodi yang tak mengecewakan itu malah pacaran dengan sesama perempuan? Apalagi, dengan perempuan yang potongan rambutnya malah lebih cepak dari saya. Teman saya, selanjutnya, malah menjelaskan bahwa yang (berperilaku) perempuan itu dulu sempat berpacaran dengan kenalannya (seorang lelaki). Ini makin membuat saya kasihan kepada perempuan itu.
Tetapi, apa benar ia perlu saya kasiani? Kalau ternyata ia malah bahagia bagaimana? Itu kan tak normal (lho siapa yang menentukan normal atau tidak?! Kekuasaan ups.). Kalau saya mencemooh mereka rasanya juga tak adil juga. Apalagi, dengan alasan Tuhan dan agama. Naif sekali (Bisakah agama sesekali tak menghakimi?). Memang agama saya (masih) melarang perkawinan sejenis. Tetapi, munusiawi saya mengajak saya untuk memahami kenyataan duniawi ini daripada cepat-cepat menghakimi.
Dan, proses memahami ini dimulai dari pertanyaan awali: mengapa mereka sampai memutuskan untuk menjadi lesbian? Sampai di sini, saya merenungkan lagi, apakah itu sebagai keputusan pribadinya atau jangan-jangan memang sudah tak bisa memilih lagi? Katanya, ada jiwa yang terperangkap pada badan yang salah: jiwa lelaki masuk pada tubuh perempuan. Atau, sebaliknya. Kalau demikian, apakah kita boleh menyalahkan orientasi seksualnya.Ya kalau begitu, ganti kelamin kek. Emang punya duit, emang banyak orang mulai bisa menerima? Saya malah bingung sendiri memahami pergulatan saya memandang kelompok ini.
Mengapa sih hubungan sejenis seperti lesbian ini ditolak? Ya karena, berlawanan dengan hukum kodrat. Kodratnya lelaki berpasangan dengan perempuan. Selayaknya, mengatakan ada plus ada minus. Bukankah dalam kitab suci mengatakan Tuhan menciptakan manusia untuk berpasang-pasangan. Lalu, mengapa diciptakan manusia yang mempunyai “kelainan” ini. Kalau kelainan apakah dianggap berdosa? Orang tertentu pasti akan menyerang lagi, itu bukan kelainan, tetapi hasil dari kebiasaan dan perlakuan waktu kecil. Ah, yang benar saja! Lha, wong ada juga yang sudah didandani perempuan tetap ingin jadi lelaki kalau ia memang jiwanya lelaki atau sebaliknya.
Lalu, bagaimana? Rasanya di zaman yang penuh keterbukaan dan penghormatan terhadap kebebasan pribadi ini, penilaian saya mengenai lesbian pun perlu saya tata ulang. Apalagi, di zaman yang tak lagi tabu membicarakan soal seks –sampai-sampai program acara TV/radio pun ada yang membahas masturbasi yang efektif- tentu anda tahu yang saya maksud! Paling tidak berhadapan dengan mereka, kita tak perlu lagi menggerutu dengan nada benci apalagi jijik. Bagaimana bila mereka ini saudara anda sendiri. Kelompok Lesbian adalah bagian kelompok yang terpinggirkan.
Kalau memang keyakinan kita, agama dan tradisi kita masih menolaknya, marilah sedikit memahami mereka. Barangkali bukan sebuah dukungan pada orientasi seksual mereka tetapi pengakuan bahwa mereka ada. Sungguh memuakkan kalau kita memusuhi, mencibir mereka apalagi dengan mengatasnamakan Tuhan dan Agama. Ah, sudahlah, saya sendiri bingung untuk meneruskan artikel ini. Mungkin suatu kali akan saya tulis tema seperti ini secara lebih rinci. Tapi, paling tidak pertemuan dengan mereka di rumah makan sederhana ini membuat pandangan saya berbeda!
Penulis : Djagad Lelanang (www.kompasiana.com/djagadlelanang)
sumber : lifestyle.kompasiana.com