Search
Close this search box.

Hitam Putih Waria “Jalanan”Transgender: Transgender Black & White Street

Oci penggemar kosmetik sebuah merek terkenal. Bedak, lipstik, make up, semua dia punya. Pemutih kulit, parfum adalah koleksi lainnya. Koleksi itu ia tata berjajar di hadapannya. Beberapa kali ia menggumam kesal saat melihat batang lipstik yang tak lagi panjang karena sering dipakai bersama.

Botol plastik bekas perapi pakaian ia pencet berkali-kali ke tubuhnya. Seluruh tangan, lengan hingga kaki rampingnya yang lengket karena pelembab menjadi basah dengan air bersih. Setelah itu, spons bedak ia tepuk-tepuk di permukaan kulitnya. “Abrakadrabra… jadi putih kan,” ujarnya terkekeh, Sabtu (9/6) malam.

Linda, rekannya, ikut tersenyum geli.

Sepi, begitu keluh Oci sambil memandang berkeliling kamar. Dulu ada TV ukuran 14 inci di meja namun harta berharga miliknya itu sekarang sudah terjual. Untuk menebus razia, lanjutnya ringan. Supaya tak masuk kurungan Polsek, Oci mengaku harus membayar sejumlah uang sebagai tebusan.

“Karena saya waria, tebusannya agak murah. Rp 500.000 boleh, sementara kalau PSK tulen (wanita–red) bisa sampai Rp 1 juta. Tambah utang ke teman untuk bayar polisi ya untuk sementara ini memang harus menikmati hidup yang sepi. Hih sedih aku…,” ujarnya.

Penjara bagi waria jalanan seperti Oci memang sangat menakutkan. Bukan lantaran dikurung di dalam jeruji besi ibarat kriminal namun lebih karena perlakuan polisi yang bertugas. “Oci sama saya sudah pernah merasakan pahitnya dikurung di Polsek. Tak hanya dihina tapi kepala kami juga digunduli. Rambut ini kan aset, malah jadi habis semua,” tutur Linda.

Sedih rasanya, imbuh Oci, sambil mengelus rambut halusnya yang sebahu. “Sudah kerja keras biar rambut jadi bagus malah digunduli.”

Hampir pukul 21.00 WIB ketika Oci dan kedua rekannya selesai berdandan. Mengenakan rok hitam mini dan kaus ketat cokelat, penampilan Oci benar-benar berubah. Wajah, tangan dan kakinya terlihat putih mulus. Tak menyisakan sedikit pun pemandangan bekas sayatan silet yang memenuhi kulit tangan. Dua rekannya pun demikian. Sambil senyum-senyum, mereka menyemprotkan parfum ke tubuh. Bau pengap kamar berganti dengan segarnya mawar.

“Jadi boros. Satu botol hanya dua pekan. Biar wangi…,” ujar Oci terkikik. Kaus ia tarik-tarik menciptakan kesan seksi. Namun, Oci buru-buru menerangkan bahwa yang terjadi pada dadanya termasuk proyek setengah gagal. “Maklum dipegang-pegang tamu nakal,” kata dia menyesal.

Hanya dengan mengonsumsi pil KB tiga kali sehari selama lebih dari dua tahun, menurut Oci, bisa membuatnya memiliki payudara layaknya perempuan. Daripada menjalani perawatan kolagen di Surabaya atau Jakarta yang hasilnya juga tidak bisa dipertanggungjawabkan, lebih baik mencoba cara lain yang lebih gampang. Syaratnya hanya selama mengonsumsi pil itu tak boleh ada yang memegang apabila menekan-nekan dada. Tangannya kemudian mengarah ke Dea, (bukan nama sebenarnya-red-) rekannya sesama waria yang tampil percaya diri dengan gaun pendek merah dan wig panjang hampir sepinggang malam itu.

“Memang aku pernah coba ikut program membesarkan payudara. Pakai suntik yang mahalnya ampun-ampunan. Satu ampul Rp1,2 juta sementara untuk bisa jadi bagus butuh enam ampul. Langsung miskin,” tutur Dea sambil geleng-geleng kepala. Walau operasi kecantikan yang ia jalani tergolong berhasil apabila dilihat secara fisik, Dea memilih tidak meneruskannya. Tak sampai sebulan Dea memilih mengempiskan dadanya karena tak kuat menahan rasa nyeri yang membuat tubuhnya panas dingin.

Pilihan mengonsumsi pil KB juga diterapkan waria lain sebut saja Popi. Malah ia mengaku sudah rajin mengonsumsinya sejak berusia 11 tahun. Sekarang ini bagian atas tubuhnya tak mengisyaratkan sama sekali tubuh laki-laki. Ditambah wajah manis dan kulit bersih hasil perawatan sebulan sekali di sebuah salon membuat tarifnya sebagai penjaja seks di kalangan waria tergolong mahal.

“Minimal Rp 125.000 sekali main. Kalau kurang, saya tak mau. Kemarin saja walau baru keluar sekitar pukul 22.00 WIB di Kestalan, saya langsung dapat pelanggan. Menghindari pajak polisi (pungutan liar, pungli–red) Rp 10.000/orang, saya langsung pulang. Uangnya kan sudah cukup buat makan,” tegasnya.

Popi mengaku khawatir apabila terlalu lama “berjualan”, uang yang ia dapat malah habis untuk pungli. Sebab apabila dihitung sejak pagi hari, imbuhnya, pungli bisa terjadi lebih dari delapan kali. Empat kali di antaranya mulai berlangsung mulai Magrib hingga menjelang dini hari.

Kapolsek Banjarsari, Kompol Andhika Bayu Adhitama saat dimintai konfirmasi membantah tegas soal pungli hingga tebusan razia. “Tidak ada itu pungli atau tebusan. Kalau memang benar terjadi laporkan saja langsung kepada saya. Jangan hanya diam,” ujarnya.

sumber : solopos.comOci cosmetics fan of a famous brand. Powder, lipstick, make up, all he had. Skin bleach, perfume is another collection.Collection procedures were lined up in front of it. Several times he mumbled annoyed at the sight of lipstick is no longer rod length because it is often used together.

Plastic bottles perapi his clothes several times to push his body.The whole hand, arm-to-toe slim-sticky moisturizer to wet with clean water. After that, the powder puff and dab it on the surface of the skin. “Abrakadrabra … so it’s white,” he chuckled, Saturday (9/6) evening.

Linda, his partner, amused smile.

Quiet, OCI lamented, looking around the room. There used to be size 14-inch TV in the table but his treasure is now gone. To make up for the raid, he added lightly. So that police can not enter the cage, OCI claim must pay a sum of money as ransom.

“Because I am transgender, redemption price is rather cheap. Be Rp 500,000, while that pure PSK (female-red) can be up to Rp 1 million. Add a friend to pay the debt to the police so for now it should enjoy a quiet life. Ugh … I’m sad, “he said.

Jail for transvestite street as OCI was very scary. Not because enclosed within iron bars like a criminal, but rather that the police in charge of treatment. “OCI as I’ve never felt the bitterness of the police locked up.Not only insulted but also shaved our heads. His hair is an asset, even so exhausted all, “said Linda.

It’s kinda sad, OCI added, stroking the soft hair is shoulder length. “It’s hard work even let your hair shaved so nice.”

Almost at 21.00 pm when the OCI and two colleagues finish dressing. Wearing a black mini skirt and tight brown T-shirt, OCI appearance completely changed. Face, hands and feet look smooth white. Not leaving any sight that met a razor blade incision skin of the hands. Two colleagues too. With a smile, they spray perfume to the body. Changing rooms smell musty with fresh roses.

“So wasteful. One bottle only two weeks. Let fragrant …, “said OCI giggled. T-shirt he created the impression of a pull-pull section. However, OCI hurriedly explained that what happened to her chest, including half of the project failed. “Understandably held-hold naughty guest,” said he was sorry.

Only by taking birth control pills three times a day for more than two years, according to OCI, can make it have breasts like a woman. Instead of collagen treatment in Surabaya or Jakarta that the results can not be accounted for, it’s better to try other ways easier. The requirement is only for taking the pill should not be there to hold when pressing the chest. His hand then leads to Dea, (not his real name, Ed-) fellow transsexual who appear confident with short red dress and a length of nearly waist-length wig that night.

“Indeed, I’ve tried to join the program breast augmentation. Disposable syringes are expensive forgiveness-forgiveness. One ampoule of Rp1, 2 million to be so good while it took six ampoules. Poor directly, “Dea said while shaking his head. Although cosmetic surgery is considered successful if he lived physically seen, Dea chose not to pursue. Less than a month because of chest deflates Dea chose not withstand the pain that makes her the chills.

Choice of taking birth control pills are also applied to other transvestites call Popi. In fact he claimed to have been diligent in taking them since the age of 11 years. Now this does not imply his upper body at all the male body. Plus a sweet face and clear skin care results in a salon once a month to make the pricing as among transgender sex workers are expensive.

“Minimum Rp 125,000 a throw. If not, I do not want. Just yesterday while coming out around 22:00 pm on Kestalan, I can direct customers. Avoid the tax police (extortion, extortion, Ed) Rp 10.000/orang, I go straight home. It is enough money for food, “he said.

Popi admitted worry if too long “sell”, money that he can actually run out for extortion. Because if calculated since the early days, he added, extortion can occur more than eight times. Four times in between starts runs from sunset until dawn.

Banjarsari police chief, Commissioner Bayu Andhika Adhitama firmly denied when asked for confirmation about the illegal payments to ransom raids. “No it’s extortion or ransom. If it really happens report it directly to me. Do not just silent, “he said.

source : harianjogja.com