Search
Close this search box.

TEMPO.COJakarta – Salah satu kritik yang dilayangkan terhadap penulis buku Allah, Liberty, and Love, Irshad Manji, adalah soal lesbi. Apa komentar Irshad soal itu?

Diskusi Allah, Liberty, and Love di kantor Lembaga Kajian Islam dan Sosial di Yogyakarta diserbu seratusan orang, Rabu 9 Mei 2012. Mereka berteriak, “Irshad Manji, jangan rusak agama kami.” Juga, “Jangan pernah menghina lagi agama kami dengan kampanye gay dan lesbian.”

Irshad bergeming, jongkok di pendapa, dilindungi para peserta diskusi yang mengelilinginya. Lemparan batu dari penyerbu diabaikan. Pemukulan juga tak dihiraukan.

Purwani Diyah Prabandari dari Tempomewawancarai Irshad Manji, 44 tahun, di sela hiruk-pikuk kegiatannya. Wawancara berlangsung dua kali, Jumat dua pekan lalu dan Senin berikutnya.

Kritik yang paling sering dialamatkan kepada Anda adalah soal homoseksualitas.

Sebenarnya, hak gay dan lesbian lebih gampang diperoleh daripada hak perempuan. Hal ini karena ada ketakutan di kalangan masyarakat pluralis bahwa mereka akan dicap homofobia (antihomoseksual). Sayangnya, mereka tak khawatir dicap sexist (bias gender), merasa tak mengapa menggaji perempuan lebih kecil dibanding laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Tapi saya tak akan berbicara banyak tentang ini.

Lalu bagaimana dengan tiga kata dalam judul buku Anda: Allah, kebebasan, dan cinta? Apa ini ada hubungannya dengan orientasi seksual?

Ini bukan candaan. Ketiganya bisa disandingkan. Saya pernah mendengar salah satu komentar yang paling menyedihkan tentang hal ini. Di sebuah program televisi, saya katakan bahwa cara merespons pendeta yang membakar Al-Quran adalah berkata dengan lembut: “Allah menyayangi Anda, demikian juga saya.” Pembawa acara televisi tertawa mendengar jawaban tersebut dan mengatakan muslim tidak mencintai atau mengasihi. Kemudian saya menerima banyak surat elektronik yang mengatakan, “Kamu tahu Irshad, saya tidak pernah mendengar kata Allah dan cinta atau sayang dalam kalimat yang sama.” Betapa menyedihkannya. Dan itu benar.

Lho, bukankah umat Islam yakin Islam itu rahmat bagi seluruh umat?

Tapi banyak yang masih bingung akan konsep itu. Saat saya di Bosnia, seorang mahasiswi berjilbab bertanya kepada saya, “Saya hanya perlu tahu satu hal, apakah Anda takut Tuhan?” Takut dinilai jauh lebih besar dibanding rahmat. Kenapa hubungan antara Tuhan dan manusia tak diukur dengan kasih sayang?

Apa akibatnya?

Siapa pun yang mempraktekkan Islam akan berada di krisis moral bila menyalahgunakan Al-Quran untuk melanggengkan ketidakadilan terhadap perempuan, agama minoritas, gay dan lesbian, anak-anak, dan lain-lain.

Kalau begitu, Indonesia dalam krisis moral?

Faktanya. Saat ini, memang ada gerakan melarang Ahmadiyah. Juga ada aturan soal pakaian perempuan di beberapa daerah. Di sisi lain, banyak muslim moderat Indonesia yang tidak ingin bersitegang dengan ekstremis. Itulah yang disebut Martin Luther King Junior sebagai perdamaian negatif. Ketegangan memang tidak ada, tapi ketidakadilan tetap terjadi. Sebuah kemajuan tak pernah terjadi tanpa ketegangan.

sumber : http://www.tempo.co