Search
Close this search box.

Jalan Terjal Perjuangan Waria Indonesia

Di Indonesia, waria menempati kelas sosial minoritas sekaligus termarginalkan. Stigma dan konstruksi sosial menempatkan mereka sebagai warga kelas dua.Wariazone adalah film dokumenter garapan Tarje Toomisthu yang menyorot kehidupan waria di 4 kota: Surabaya, Malang, Yogyakarta, dan Jakarta. Tarje yang juga mahasiswi doktoral di Universitas Tartu Estonia ini melakukan penelitian tentang waria berikut diskursus yang meliputinya. Wariazone berusaha mengeksplorasi gagasan transgender di Indonesia serta hubungan identitas gender dengan kebebasan.

Waria dikenal sebagai “perpaduan” antara laki-laki dan perempuan. Namun, mereka memandang diri mereka sebagai gender ketiga di luar laki-laki dan perempuan. Mereka mengidentifikasi diri menyerupai perempuan, baik dalam berpakaian seperti memakai bedak dan lipstik maupun “permak” tubuh dan tingkah laku agar tampak feminim. Sedangkan dalam preferensi seksual, mereka menyukai laki-laki.

Masyarakat sering mengcap negatif waria identik dengan pekerja seks yang sering mangkal di pinggir-pinggir jalan. Hal ini diakui oleh Shuniyya, pengurus Pesantren Waria di Yogyakarta yang hadir dalam Film Screening “Wariazone” yang dihelat di R. 306 CRCS UGM pada hari Kamis 1 Maret 2012 lalu.

Dalam film berdurasi 74 menit itu, wacana tentang waria banyak dilingkupi berbagai diskursus, terutama agama. Dalam Islam, waria dikaitkan dengan terminologi khunsa dan mukhannas. Term pertama adalah kecenderungan alamiah yang hadir sebagai sebuah keniscayaan yang tidak bisa diubah. Sedangkan istilah kedua adalah kecenderungan yang dibuat-buat oleh si subjek. Terlepas dari berbagai perdebatan, dalam Islam sendiri terdapat banyak kalangan yang antipati terhadap waria. Salah satu scene yang ditampilkan Wariazone (diambil dari footage berita televisi) misalnya, tampak segerombolan laskar Front Pembela Islam (FPI) yang membubarkan paksa “Pertemuan Waria” di Purwokerto Juli 2011.

Scene menarik lainnya adalah ketika Tarje melakukan penelusuran sekelompok waria yang berprofesi sebagai PSK di kota Jakarta. Ketika ditanya tentang agamanya apa, banyak di antara mereka yang mengatakan agama itu soal sensitif. Namun di sisi lain, mereka terus berusaha menjustifikasi ke-waria-annya dengan menunjukkan teks-teks kitab suci yang mengakui keberadaan waria.

Salah satu yang paling menonjol dari film Wariazone adalah bagaimana upaya para waria di Yogyakarta yang membentuk ruang dialog dengan Tuhan melalui pendirian Pesantren Waria Senin-Kamis. Usaha ini dilatarbelakangi keyakinan bahwa waria juga makhluk Tuhan berhak diperlakukan sama seperti gender yang lain. Keberadaan pesantren unik ini mengundang pro dan kontra. Banyak kalangan yang menolak namun tak sedikit yang mendukung.

Menurut Maryani  , pengurus dari Pesantren Waria Senin-Kamis Yogyakarta, ia dan teman-temannya terus mencari dukungan dari berbagai kalangan untuk pengembangan pesantren tersebut. Shuniyya menceritakan, ia telah melakukan dengar pendapat dengan dua organisasi muslim terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah. Tetapi hanya NU yang mendukung keberadaan tempat belajar agama bagi para waria.

Tarje berujar, dirinya menemukan banyak hal baru ketika melakukan penelitian di Indonesia. Transgender di Indonesia ternyata sangat melekat dengan tradisi dan kesenian masyarakat. Sebagai contoh adalah bissu yang menempati posisi khusus sebagai penghubung antara makhluk dan Tuhan pada masyarakat Sulawesi dan kesenian ludruk di Jawa Timur yang mengakomodir pemeran “waria” dalam pementasannya.

Mencap waria sebagai “sampah masyarakat” dengan justifikasi agama tidak akan menyelesaikan masalah. Sudah seharusnya kita melihat mereka sebagai manusia yang berhak memperoleh hak-hak kemanusiaan dan hak-hak sebagai warga negara. (AGA)

sumber : http://crcs.ugm.ac.id