Search
Close this search box.

Tulisan ini dibuat oleh Omar Sharif Jr., cucu dari seorang  aktor legendaris keturunan mesir, ia membuka diri  sebagai seorang gay yang sekaligus seorang Yahudi. Dia khawatir  pemerintahan yang masih seumur jagung  akan menerapkan berbagai aturan yang membuatnya tersiksa.

Ketika saya menuliskan artikel ini, saya sedang di rundung ketakutan yang teramat-sangat,  Takut akan negara, takut akan keluarga  dan pastinya ketakutan akan diri sendiri ketika orang tua saya membaca artikel yang saya tulis. Saya sangat yakin apabila orang tua saya membaca tulisan ini , mereka pasti mendorong saya untuk bersembunyi dibalik bayang hitam. Agar saya lebih “aman.”

Tapi saya tidak bisa!

Januari lalu, saya meninggalkan Mesir dengan berat hati. Demi sebuah impian yang terdalam yang selama ini saya pendam, yaitu menjadi diri sendiri untuk menentukan apa yang saya inginkan.  Negara Amerika menjadi tempat tujuan untuk mewujudkan impian saya.

Meskipun suara tembakan berhamburan di jalanan, dan cuplikan berita tentang seorang pembawa berita  CNN, Anderson Cooper yang mendapatkan kekerasan berulang kali, saya tak gentar dengan kejadian yang sedang berlangsung, yang ada di benak saya hanyalah berkumpul dengan orang-orang yang paham akan toleransi, yang menjunjung tinggi atas hak dan kesetaraan.

Sebagai keturunan dari Omar Sharif yang bergelimang kemewahan,  bagi saya justru sangat ironis, kehidupan saya lebih banyak diisi dengan air mata penderitaan.

Saya tak banyak berharap dari sebuah Revolusi

Tangan-tangan kekuasaan di kursi  parlemen dikuasai oleh kaum sekuler, Pejuang-pejuang muda mulai berani menyuarakan nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan, di luar memang tampak ideal dan tanpa cela, akan tetapi  visi yang dibangun bersama yang berdasarkan hak asasi manusia itu, ternyata dibentengi oleh kekuatan militer dan partai-partai Islam.

Saya sudah membayangkan  resiko yang harus saya hadapi ketika tulisan ini dibaca oleh banyak orang . Saya sebenarnya sangat khawatir pada keadan Mesir setelah Revolusi, Kejayaan yang diimpikan hanyalah seperti mimpi di siang bolong, yang ada malah menunggu sebuah kehancuran baru.

Saya menulis artikel ini dengan penuh rasa hormat dan dalam keadaan sehat dan sadar,  dan saya tahu bahaya macam apa yang akan datang menerjang, dan itu bisa terjadi kapan saja.

Dengan penuh keraguan saya mengakui:  Saya orang Mesir, dengan campuran darah Yahudi, dan yang pasti saya adalah seorang Gay.

Saya tidak peduli bahwa saya dilahirkan dari rahim seorang Ibu Yahudi yang  berasal dari Mesir. Memiliki perbedaan orientasi seksual  adalah sebuah momok mengerikan sejak saya dilahirkan hingga saat sekarang ini,  terutama dalam masa gejolak  sosial politik yang kini sedang terjadi.

Dan kembali saya katakan bahwa  kemenangan partai-partai Islam dalam pemilu,  membuat saya bertanya pada diri saya sendiri,

Apakah Mesir setelah Revolusi bisa menerima seorang gay seperti  diri saya?

Atau pilihannya adalah tetap menjadi orang Mesir, setengah Yahudi dan terus menerus menyembunyikan identitas seksual? Apakah selamanya saya harus seperti itu?

sumber : advocate.com

sumber foto: dailycasserole.comWith this essay, Egyptian multihyphenate Omar Sharif Jr., grandson and namesake of the screen legend, comes out both as gay and half Jewish. He worries that his country’s fledgling government will persecute others like him

I write this article in fear. Fear for my country, fear for my family, and fear for myself. My parents will be shocked to read it, surely preferring I stay in the shadows and keep silent, at least for the time being.

But I can’t.

Last January, I left Egypt with a heavy heart. I traveled to America, leaving behind my family, friends, and compatriots who were in the midst of embarking on a heroic journey toward self-determination. Despite the sound of gunshots in the streets and the images of Anderson Cooper being struck repeatedly over the head on CNN, I left hopeful that I would return to find a more tolerant and equal society. While I benefited from a life of privilege being Omar Sharif’s grandson, it was always coupled with the onerous guilt that such a position might have been founded upon others’ sweat and tears.

One year since the start of the revolution, I am not as hopeful.

The troubling results of the recent parliamentary elections dealt secularists a particularly devastating blow. The vision for a freer, more equal Egypt—a vision that many young patriots gave their lives to see realized in Tahrir Square—has been hijacked. The full spectrum of equal and human rights are now wedge issues used by both the Supreme Council of the Egyptian Armed Forces and the Islamist parties, when they should be regarded as universal truths.

I write this article despite the inherent risks associated because as we stand idle at what we hoped would be the pinnacle of Egyptian modern history, I worry that a fall from the top could be the most devastating. I write, with healthy respect for the dangers that may come, for fear that Egypt’s Arab Spring may be moving us backward, not forward.

And so I hesitantly confess: I am Egyptian, I am half Jewish, and I
am gay.

That my mother is Jewish is no small disclosure when you are from Egypt, no matter the year. And being openly gay has always meant asking for trouble, but perhaps especially during this time of political and social upheaval. With the victories of several Islamist parties in recent elections, a conversation needs to be had and certain questions need to be raised. I ask myself:
Am I welcome in the new Egypt?

Will being Egyptian, half Jewish, and gay forever remain mutually exclusive identities? Are they identities to be hidden?

source : www.advocate.com