Langkah Baru…
I will set to my own journey, after “over too long” stay with my parents and my siblings
(aku akan memenuhi takdirku, setelah sekian lama dalam ketiak hangat keluarga, kuputuskan untuk menjadi diri sendiri dan mandiri) by friend called Riza Sikasep (in my heart)
Prolog
Proses menjadi mandiri, menghilangkan ketergantungan dari keluarga menjadi proses penting dalam kehidupan setiap orang. Proses ini saling mempengaruhi, memberi, konflik, dan pertarungan psikologis dalam diri seseorang. Kesemua proses ini pada akhirnya akan menunjukkan entitas seseorang
Proses Menjadi Diri Sendiri.
Tidak lah mudah menjadi diri sendiri. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Menjadi diri sendiri adalah bagaimana kita menginterpretasikan minat, interest bahkan entitas paling dalam dari kesejatian diri; yang antara lain adalah pilihan seksualitas (baik dilihat dalam arti luas maupun sempit), termasuk didalamnya adalah orientasi seksual.
Pengaruh yang terjadi dalam proses menjadi diri sendiri tidak hanya berasal dari konflik batin dalam “berperang melawan diri sendiri”, aspek-aspek sosial lain juga ikut bermain peran, mewarnai serta ikut andil didalamnya. Kalau ranah-ranah ini kita gambarkan sebagai suatu peta maka akan kelihatan sebuah struktur sepeti atom, bolehlah kita sebut dengan struktur Atom Sosial. Setiap lapisannya saling pengaruh-mempengaruhi, bentur membentur. Nilai yang telah bercokol dikepala tiap-tiap orang tentunya berbeda-beda, namun kemanusiaan dan keadilanlah yang kemudian menjadi nilai universal bersama. Oleh karena kebenaran menjadi sesuatu yang nisbi, namun secara sepihak ada yang memaksa kebenaran yang dipersepsi secara buta oleh yang bersangkutan.
Menjadi Mandiri Bagi Teman-teman LGBT-IQ
Mencari kesejatian diri dan entitas diri menjadi perjalanan yang sangatpenting dalam hidup seorang person LGBT-IQ. Menjadi berbeda dan unik, bahkan karena perbedaan tersebut membuat pribadi tersebut dimarginalkan bahkan didiskriminasi. Hidup menjadi sangat tidak mudah. Ejekan, cacian, hinaan bahkan kekerasan fisik terkadanng menjadi pengalaman yang tak terlupakan dalam perjalanannya. Pilihan hidup yang akan dijalani tentunya tidak hanya satu, sama saja baik seorang homo, hetero atau bi. Semua punya konsekuensi dan balasan yang akan diterima, tergantung cara menyikapinya. Memakai topeng kejam yang sangat ‘heteronormatif’, kejam dalam arti akan siap meminggirkan dan menggilas sesiapa yang tak searus. Topenglah yang akan menyelamatkanmu dari si kejam heteronormativitas ini. Topeng mana lagi yang akan kau pilih, berpura-pura menyukai lawan jenismu dan lalu menikah (yang kemudian timbul pertanyaan harus sampai kapan), atau mengingkari entitas dirimu sebagai yang ‘diluar arus utama dan berbeda’ dengan cara mengecam habis-habisan manusia-manusa yang notabenenya adalah sama sepertimu. Dalam hal ini maka akan ada sebuah cap untuk dirimu ‘teruslah jadi munafik’.
Berdamai dengan diri sendiri adalah sebuah pilihan yang manusiawi dan memanusikan siapa saja. Tidak mudah mudah memang, karena sebelumnya kepala sudah diganduli ribuan ton hegemoni nilai dan paradigma, mitos dan stereotype tentang seorang LGBT-IQ. Belum lagi agama yang sangat teramat ‘kejam’ menghukum dan menghujat kelompok ini.
Dipaksa Menikah
Pakailah topeng, menikahlah. Urusan nanti kamu tertarik dengan pria-pria keren, ya atur saja, yang penting istri tidak tahu. Demikian itu adalah beberapa alasan untuk menikah ‘hanya sebagai topeng’ bagi beberapa teman (dalam kelompok gay). Istriku cukup mengerti kok kalau aku berhubungan dengan laki-laki, asal aku tidak berselingkuh dengan perempuan, menyedihkan memang. Struktus sosial pada suatu kondisi akan memaksa kelompok LGBT-IQ untuk menikah. Akar masalahnya adalah seperti pada penjelasan diatas.
Fulfill Your Destiny (menjawab panggilan takdir)
Destinasi apakah yang mengujungi perjalanan ini. Sebentuk hati yang menjadi rumah jiwa yang mendekap kemanusiaan dan khittahnya. Berdamai dengan nurani dan menjadi diri sendiri. Seperti itukah yang kemudian sebuah keputusan ‘being independent’ harus diputuskan. Setiap orang pasti punya pertimbangan. Pemakluman harus dilakukan bahwa manusia penuh salah dan alpa. Namun diskursus akan terus berperang, nurani akan terus bergelut dengan logika mencari titik harmoni. Dalam keteduhan sebait doa maka biarkan aku jeda sejenak untuk kemudian menjawab panggilan takdirku sebagai bagian dari LGBT-IQ dan dunia.
Penulis : Fais Ichall
Sabtu, 02 Juli 2011. Hari gelisah di tepi sebuah telaga lamlagaang