Search
Close this search box.

Suarakita.org- BEBERAPA waktu lalu, saya diundang bersama Drs Ahmad, Sekretaris Disbudpar Pangkep dalam suatu acara Talk Show tentang Budaya Nusantara di RRI Makassar yang dipandu oleh Mbak Meisya Sahetapy. Acara itu sendiri direlay oleh lima stasiun RRI kota lainnya yang juga menyiarkan Talk Show seni budaya. Untuk RRI Makassar dibahas tentang Komunitas Bissu. Saya sudah banyak menulis tentang Komunitas Bissu di media cetak dan media online, dan kalau melihat judulnya saja tanpa membaca isinya, mungkin sebagian besar pembaca menganggap tulisan tersebut adalah kajian sastra atau boleh jadi saya dianggap salah ketik, Bissu dikira Bisu.

Bagi penyiar RRI, Meisya Sahetapy yang orang Ambon tentu merasakan keanehan hal yang sama ketika mendengar kata ‘Bissu’, sama seperti orang luar Sulsel yang menanyakan, “Ini Bissu atau Bisu sich mas ?”, ujarnya saat membaca judul tulisan saya pada sebuah media lokal terbitan Makassar. Tentu kita pernah mendengar pementasan teater spektakuler La Galigo yang diangkat dari kisah yang tertulis dalam Kitab sastra epik mitik Bugis, La Galigo di luar negeri, seperti Amerika, Italia, Perancis, Belanda, Singapore yang disutradarai Robert Wilson, disitu akan kita dengar pembacaan Sure’ Galigo yang mengiringi musik dan pementasan itu. Yang membacakan Sureq’ Galigo tersebut adalah Puang Matoa Saidi, pemimpin tertinggi komunitas Bissu Dewatae yang berpusat di Segeri – Pangkep.

Sebenarnya Bissu itu apa sich ? Pertanyaan pertama Mbak Meisya kepadaku saat Talk Show. Spontan saya jawab bahwa Bissu itu mirip – mirip dengan Biksu, soal peran. Kalo Biksu adalah pendeta Hindu sedang Bissu adalah Pendeta Bugis pada masa pra Islam. Sebelum Islam datang ke Sulawesi Selatan, masyarakat Bugis Makassar itu sudah mengenal suatu kepercayaan animisme yang disebut Kepercayaan terhadap Dewata SeuwaE. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Bissu itu ‘pendeta’ masa lampau yang hidup di masa kini.
Tentu kita akan bertanya, “Lho kenapa masih ada sampai sekarang, bukankah Islam sudah ada dan menjadi anutan masyarakat Bugis Makassar ?”. Jawaban atas pertanyaan tentu memerlukan kajian dan penelitian. Sebagian kecil masyarakat masih mempercayakan Bissu sebagai tempat konsultasi dari setiap pelaksanaan upacara adat siklus hidup (kelahiran, naik rumah, turun sawah, pesta panen, pesta adat, kematian) yang dilakukan. Ini persoalan tradisi dan budaya. Bissu saat ini pun hidup dengan label islam, mengaku beragama Islam, meski kepercayaan terhadap Dewata SeuwaE masih juga dipegangnya.

“Apa sich sebenarnya yang menarik dan unik dari Bissu ini ?” Mbak Meisya mencecar dengan pertanyaan sambil menggengam buku saya, “Manusia Bissu”. “Bissu itu waria, Mbak”, jawab saya. Meskipun ada juga Bissu perempuan—mereka yang menjadi Bissu setelah tidak subur lagi (menopause)—namun itu tidak dominan, sudah langka. Bissu umumnya berangkat dari status waria yang mendapatkan semacam ‘panggilan spiritual’ untuk menjalani takdirnya sebagai Bissu. Pemimpin Bissu digelari ‘Puang Matoa’, sedang wakilnya disebut ‘Puang Lolo’. Kalau melihat sepintas Bissu, mungkin kita akan tertipu karena mereka rata – rata berwajah keras dan berjanggut, padahal intinya mereka gemulai.

Yang membedakan Bissu dengan waria pada umumnya dapat kita saksikan saat mereka melakukan seni tari maggiri. Para Bissu itu menusukkan keris ke beberapa anggota anggota tubuhnya seperti tangan, pinggang, perut, atau leher, sambil menari diiringi musik palappasa. Mereka tidak menpan senjata tajam. Mereka adalah waria sakti dari peradaban bugis masa lampau. Pada masa keemasan kerajaan di Tanah Bugis, tidak satupun upacara atau sidang yang lengkap tanpa keterlibatan mereka. Bissu adalah pemelihara benda pusaka kebesaran kerajaan dan keagamaan pada masa itu.

Dr Harold Frazer, seorang Antropolog Amerika saat saya mengantarnya menyaksikan pertunjukan Bissu di Pangkep tahun lalu sempat mengungkapkan kekagumannya. Menurutnya, waria pada umumnya terutama di Barat adalah sosok yang menonjolkan sensualitas dan seksualitas, sangat tidak berbudaya tapi Bissu disini adalah waria yang justru sebaliknya, pemelihara budaya, pelestari tradisi, pakaiannya anggun dan mempesona, tempat bertanya berbagai hal terkait upacara adat, terkemuka dan ditokohkan masyarakat sekitarnya. Demikianlah Bissu, waria sakti dari peradaban Bugis masa lampau. (***).