Search
Close this search box.

Arsip Pemikiran Michel Foucault, Dede Oetomo, dan Hartoyo

Terkait Hari Buku Sedunia, 23 April 2011, saya mau cerita tokoh homoseksual dalam buku. Mengingat ini esai pendek, saya batasi tiga tokoh saja, biar tak jenuh. Simak baik-baik ya.

Michel Foucault

Ia sangat terobsesi seks, khususnya homoseksual dan sadomasokis. Tahun 1975, ia berkunjung ke San Fransisco. Terpesona komunitas homoseksual di sana, terlebih ada tempat pemandian, yang mewujudkan obesesinya itu. Disebutnya, pengalaman luar biasa—saya belum menemukan referensi detail perilaku seksual yang ia lakukan—, hingga mengulanginya tahun 1979, 1980, dan 1983. Bahkan, tercatat sebagai anggota aktif. Ia juga tergila-gila dengan obat-obatan. Mencoba pertama kali di musim semi 1975, langsung ketagihan. Luar biasa, hingga merombak semua pemikirannya,”Langit bagaikan meledak dan bintang menghujan jatuh ke atasku, aku tahu ini tak benar, namun inilah kebenaran” (dikutip dari J.Miller, 1993:250). Pengalaman tersebut menjadi titik balik karyanya. Risetnya dirombak total, memusatkan perhatian pada diri (aku). Tiga karyanya yang monumental dan sampai saat ini jadi rujukan: The History of Sexuality (1980), The Care of the Self (1984), dan The Use of Pleasure (1985).

Ia menyumbang peradaban dengan kontribusi pemikiran non esensialisme atau anti esensialisme. Bantahan atas pemikiran esensialisme yang mengakar ratusan tahun. Julia I. Suryakusuma membuat kajian seksualitas berdasarkan prinsip ini: Konstruksi Sosial Seksualitas, Sebuah Pengantar Teoritis (Prisma, No. 07 Tahun XX, Juli 1991). Bahwa pandangan esensialisme: seksualitas bersifat tetap, tidak berubah, kekal, dan asosial, patah dengan sendirinya oleh pandangan non esensialisme yang bertolak-belakang. Bingung ya? Contoh sederhana seperti ini: esensialisme melihat hubungan yang mungkin antar manusia: lelaki-perempuan, merujuk manusia berpenis-manusia bervagina. Non esensialisme melihat fakta lain, bahwa dimungkinkan hubungan lelaki-lelaki, perempuan-perempuan, pun istilah lelaki-perempuan tidak berdasar seks belaka (penis, vagina), tetapi melalui serangkaian discourse, sistem kepercayaan, konsep-konsep, dan ide-ide yang dianut. Di sini terlihat, non esensialisme membuka lebar ruang pengetahuan yang terkunci. Michel Foucault meninggal karena AIDS di usia 57 tahun, pada tahun 1984. Tugasnya dilanjutkan pemikir-pemikir lain, semisal Judith Butler. Ia telah menuntaskan tugasnya, memberi inspirasi bagi yang hidup dengan buku-buku.

Dede Oetomo

Benedict Anderson menyebutnya manusia Indonesia baru, karena berani coming out di tengah gay liberation movement Amerika, di kampus Cornell University, tahun 1978. Dan ketika pulang ke Indonesia dengan gelar Doktor, ia dituduh sok kebarat-baratan karena pemikirannya yang sangat terbuka pada seksualitas. Tuduhan itu patah oleh data yang ia sodorkan, bahwa di setiap penjuru tanah air, homoseksual begitu lekat: di pesantren ada mairilan, di Madura ada laq-dalaq, di Ponorogo ada warok-gemblak, di Sulawesi ada bissu, di Jawa ada sempet-sempetan dll. Pun daftar panjang tokoh dunia yang homoseksual: Alexander, Michelangelo, Leonardo da Vinci, Julius Caesar, Proust, Gide, Frida Kahlo, Virginia Wolf dll.

Tentu, pergerakan tak akan jalan tanpa tindakan. Maka, 01 Maret 1982, ia mendirikan organisasi gay pertama di Indonesia: Lambda Indonesia (LI). Pemikirannya tertuang dalam Buletin G: Gaya Hidup Ceria. Lagi-lagi, tulisan menjadi medium efektif. Pada perkembangannya, muncul organisasi-organisasi di berbagai wilayah Indonesia, seperti di Yogyakarta berdiri Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY). Tercatat, tahun 1987, Lambda Indonesia berubah ke bentuk Yayasan GAYa NUSANTARA, yang berkantor di Surabaya sampai sekarang. Ledakan aktivis terjadi tahun 1990-an, di mana banyak bermunculan organisasi LGBT di berbagai wilayah Indonesia. Tentu ini menggembirakan karena kesadaran hak asasi manusia meningkat tajam. Tentu banyak aral, seperti kegagalannya jadi wakil rakyat lewat Partai Rakyat Demokratik (PRD). Tapi, itu tak menyurutkan langkahnya. Terus bergerak militan menyampaikan pemikiran, membuka kesadaran, mendobrak kemapanan. Dan di tahun 2001, perjalanan itu terangkum dalam buku Memberi Suara pada yang Bisu. Judul yang tepat. Bukankah pemikiran dan perasaan harus disuarakan, hingga mewujud segenap angan-angan tentang kehidupan yang menghargai perbedaan.

Hartoyo

Saya kira, kala kecil ia tak pernah bermimpi jadi penulis dan menerbitkan buku. Mengingat kegemarannya menari dari SD sampai SMA, mungkin ia ingin keliling dunia dengan kelompok tarinya. Tetapi, toh, di tahun 2009, dari tangannya (duet Titiana Adinda), lahir buku Biarkan Aku Memilih, Pengakuan Seorang Gay yang Coming Out. Pastilah ia termasuk manusia beradab yang percaya setiap tulisan mengandung kekuatan, setiap buku sumber inspirasi, dan kerja menulis penting, karena mengekalkan sejarah kemanusiaan.

Pengalaman yang kusampaikan bukan untuk mencari “pembenaran” dan meminta belas kasihan orang. Memang, ia tidak sedang mencari simpati. Hanya ingin mendedahkan serangkaian pengalaman hidup, yang faktanya, banyak koyak oleh tindakan tak adil hanya lantaran ia gay. Manusia punya otoritas pada dirinya sendiri dan ia coba mempertahankan itu. Meski melewati arus tak mulus, seperti tragedi penyiksaan di Aceh, berikut keputusan pengadilan yang timpang. Ia terus berjalan, mewujudkan mimpi besar kemanusiaan.

***

Maka, mohon dimaklumi kalau saya bawel mengajak membaca buku dan ngeyel menyuruh teman-teman rajin menulis. Sebab hidup yang sekali ini akan berarti kalau pemikiran dan perasaan abadi dalam tulisan, pun mampu menggerakkan orang lain, sebuah manfaat bagi kehidupan. Buku bisa ganti E-book, kertas bisa berubah laptop. Tapi, ada benang merah tak terbantah: membaca dan menulis itu penting!

Selamat Hari Buku Sedunia.

Penulis: Antok Serean
Plemahan Surabaya, 24.04.2011, 07:18 PM