Search
Close this search box.

Pangeran di Garis Depan Pertempuran Melawan HIV

SuaraKita.org – Seorang anggota dari klan kerajaan dan pewaris tahta Rajpipla di negara bagian Gujarat yang sangat konservatif, Manvendra Singh Gohil menggunakan ketenaran dan statusnya untuk mendidik komunitas gay tentang seks yang aman dan hak-hak mereka di negara di mana seks  dengan sejenis merupakan tindak pidana.

“Orang-orang mengatakan homoseksualitas adalah bagian dari budaya barat. Ini benar-benar salah,” kata Manvendra  dalam sebuah wawancara, mengutip Kamasutra dan patung-patung homoerotis yang di tampilkan di kuil-kuil kuno di seluruh negeri.

“Ini adalah kemunafikan dalam masyarakat kita yang menolak untuk menerima kebenaran ini. Dan ini memotivasi saya untuk melela dan memberitahu dunia ‘Saya gay, lalu kenapa? Dan saya bangga akan hal itu’.”

Manvendra telah menjadi bagian dari kampanye melawan hukum era kolonial yang melarang tindakan homoseksual di India, yang katanya telah memberikan kontribusi terhadap penyebaran HIV / AIDS, melalui Organisasi Lakhsya Foundation yang bekerja untuk menggalakkan gerakan praktek seksualitas secara aman kepada komunitas LGBT

Seks sejenis  secara efektif dilegalkan pada 2009 ketika Pengadilan Tinggi Delhi memutuskan bahwa kriminalisasi seks sejenis adalah melanggar hak-hak dasar seseorang. Namun pada tahun 2013 Mahkamah Agung memutuskan bahwa tanggung jawab untuk mengubah hukum 1861 terletak kepada anggota parlemen, bukan hakim.

Penuntutan jarang terjadi, tetapi komunitas LGBT mengatakan mereka menghadapi diskriminasi yang signifikan serta pelecehan dari polisi. Manvendra pun mengatakan bahkan kontrak pemerintah untuk mendistribusikan kondom tidak melindungi pekerjanya dari pelecehan polisi.

“Mereka mengatakan bahwa kami menyebarkan homoseksualitas” katanya.

India memiliki jumlah tertinggi ketiga dalam  kasus HIV / AIDS di dunia menurut PBB, dengan sekitar 2,1 juta orang pada tahun 2015, meskipun tingkat infeksinya menurun. Sinyal positif muncul setelah 2 Rancangan Undang-Undang yang dibuat untuk mengakhiri diskriminasi terhadap transgenden dan orang yang terinfeksi HIV masuk ke agenda bahasan parlemen. RUU ini bertujuan untuk melarang diskriminasi dalam bentuk apapun termasuk menolak akses mereka ke tempat-tempat umum, perbuatan ini akan diganjar dengan hukuman sampai dua tahun penjara dan denda.

Namun para aktivis menolak sebuah pasal yang memaksa orang-orang untuk menjalani tes untuk menentukan identitas gender mereka. Hal ini dianggap tidak sejalan dengan keputusan Mahkamah Agung tahun 2014 yang memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasikan gendernya sendiri.

“Ketika Kementerian Pemberdayaan Sosial itu sendiri tidak jelas tentang  transgender, bagaimana mereka akan mengatasi masalah ini? Ini adalah situasi yang menantang. Saya tidak menyalahkan partai politik. Ini bukan partai, tetapi ini adalah individu yang ramah LGBT atau individu yang homofobik. Dan tugas kita untuk mendidik mereka agar paham.” kata Manvendra. (R.A.W)

Sumber:

Pulse