SuaraKita.org – Pada tanggal 3 September yang lalu, Suara Kita mengundang Nurdiyansah Dalidjo atau akrab disapa Diyan, untuk mengupas tuntas bukunya yang berjudul ‘Porn(o) Tour’*. Buku ini merangkum perjalanan sang penulis ke beberapa titik pariwisata di Indonesia, namun yang berbeda adalah penulis tidak hanya menceritakan betapa indahnya tempat wisata tersebut, alih-alih penulis justru mengkritik akan adanya ketidak adilan di balik kemewahan tempat wisata tersebut. Diantaranya eksploitasi, kapitalisme, dan bahkan isu-isu lingkungan.
“Ketika aku baca judulnya, aku kira buku ini menceritakan wisata esek-esek, namun ternyata porno di sini artinya itu ‘lebih jujur'” tutur Moderator di awal acara.
Proses penulisan buku ini sebenarnya dimulai sejak tahun 2014. “Itu jalan-jalannya yang lama. Aku punya kebiasaan kalau sedang jalan-jalan aku selalu mencatat di catatan kecil.” tutur Diyan. “Pariwisata itu persinggungnya banyak sekali, dia bisa ngomongin lingkungan hidup, dia bisa ngomongin soal masalah prostitusi, bisa juga tentang budaya.”
Nurdiyansah juga menceritakan mengapa dia mengambil judul yang unik ini untuk bukunya, “Kenapa Porn(o) Tour, di dalam konteks pariwisata ada istilah yang namanya porn tourism. Asal katanya dari Porno. Porn tourism maksudnya ketika kita jalan-jalan, kita melihat hal yang indah-indah terus. Padahal di sana ada kesalahan-kesalahan tata kelola, atau hal-hal yang ditutup-tutupi di sebuah destinasi yang lipstick. Contohnya, lima belas menit dari Kuta, ada sebenarnya desa kecil yang miskin dan di sana anak-anaknya tidak tahu bahwa sebanarnya di dekat desa mereka ada hingar bingar Kuta. Itu hal-hal yang ditutup-tutupi.”
Lebih lanjut Nurdiyansah menjelaskan, “Jalan-jalan bukan hanya pengalaman lo dengan diri lo doang. Jalan-jalan sebenarnya memiliki banyak pengaruh, banyak pergulatan yang kita alami sebelum sampai di tempat tujuan, mulai white supremacydari transportasi, ada industri makanan, jasa, hotel, segala macam. Kalian tahu tidak kalo penggunaan air di hotel itu lima kali lebih banyak dari pada penggunaan air masyarakat sekitar hotel tersebut?”
“Kata ‘eksotis’ itu juga sebenarnya bermakna white supremacy, kata itu banyak diucapkan oleh penjajah Belanda. Jadi sebenarnya ‘eksotis’ itu sesuatu yang asing, sesuatu yang bukan common-nya gue. Kita selalu memposisikan ketika kita jadi wisatawan kita sebagai subjek, dan destinasi yang kita kunjungi atau masyarakat yang akan kita temui itu sebagai objek.” Lanjutnya.
Ketika film 5 cm beredar di bioskop, gunung Bromo sontak menjadi sasaran turis untuk menghabiskan liburannya, Nurdiyansah juga menceritakan pengalamannya saat itu, “Traveling di Bromo setelah film 5 cm booming. Menurutku itu sebuah eksploitasi, ketika keindahannya terlalu ditonjolkan tanpa dia memikirkan impact-nya. Jadi waktu itu untuk naik ke gunung Bromo, nyari mobil Jeep itu susah, jadi fenomenanya orang-orang memakai truck. Satu truck bisa memuat sampai lima puluh sampai tujuh puluh orang. Naik Jeep pun itu over kapasitas bisa sampai tiga puluh orang satu mobil. Ada juga beberapa pengunjung yang datang menggunakan truck itu berpakaian gaun, menggunakan heels, karena hanya ingin foto-foto. Naik gunung pakai heels.”
Nurdiyansah juga menceritakan sedikit tentang apa itu Queer Tourism, “Ada data yang beredar bahwa 10% dari semua wisatawan di dunia ini adalah LGBT, itu yang terdeteksi, kemungkinan bisa lebih banyak. Apapun interaksi mereka apakah aktifitas seks, atau sekedar saling sapa sesama gay, itu menjadi pengalaman yang berbeda. Traveling itu bisa menjadi wadah untuk reclaim the space.”
*Buku Porn(o) Tour bisa dipesan langsung di Akun Facebook Penulis atau Hubungi Pustaka Pelangi.