Oleh Nurdiyansah*
Suarakita.org- “If I let God into my heart, will you start loving me again?”
(Kutipan dialog yang disampaikan Alina kepada kekasihnya Voichita dalam film Beyond the Hills)
Menarik untuk melihat pada bagaimana pola homopobia – termasuk bipobia dan transpobia – tengah berusaha dipertahankan sebagai dalih kuasa. Mungkin kita bisa lupa, tetapi fakta tak dapat begitu saja dihilangkan dari peristiwa yang telah terjadi. Jika sampai saat ini banyak dari kita menolak memahami bahwa homoseksualitas adalah keragaman identitas dan seksualitas manusia, lalu apakah kemudian kita hendak menyangkal lagi pada nilai-nilai kemanusiaan? Bahwa keragaman ini adalah hak paling hakiki yang tak dapat dipisahkan dari manusia.
Homopobia dan Kekerasan
Minggu lalu (11/05/2014), Suara Kita seperti biasa menyelenggarakan kegiatan nonton bareng dan diskusi bulanan sebagai rangkaian peringatan IDAHOT 2014 (International Day Against Homophobia, Biphobia, & Transphobia). Film yang diputar kali ini berjudul Beyond the Hills, kisah dengan pergulatan tema besar tentang cinta sesama perempuan dan praktek homopobia berbasis agama yang sebagian besar berlokasi di sebuah biara yang terisolasi di Rumania.
Voichita dan Alina adalah sepasang sahabat kecil, kemudian menjadi kekasih yang tumbuh bersama di panti asuhan. Setelah dewasa, keduanya berpisah. Alina bekerja dan menetap di Jerman, sementara Voichita memutuskan tinggal di biara (Orthodox convent). Sampai pada suatu hari, Alina kembali ke Rumania untuk menjemput Voichita. Tetapi ajakan tersebut ditolaknya. Voichita yang telah dipenuhi doktrin agama merasa hubungan cinta yang pernah mereka jalin bersama adalah sebuah dosa. Alina yang gagal menjemput kekasih pun malah terjebak situasi di dalam biara konservatif. Pergulatan amarah batin Alina pun memunculkan pandangan-pandangan homopobia yang dikaitkan dengan penyakit kejiwaan, dosa, hingga kerasukan setan oleh kalangan biara. Film tersebut tak hanya memberikan pandangan pada bagaimana agama sebagai institusi sosial disalahgunakan oleh tokoh yang disapa Papa sebagai pemimpin biara, tetapi pula menampilkan bahaya praktek-praktek homopobia yang dekat dengan kekerasan secara fisik, psikologis, dan seksual yang menyebabkan terancamnya hak manusia sebagai individu hingga berdampak pada kematian.
Film yang terinspirasi dari kisah nyata tersebut mengingatkan kita pada sejarah tentang bagaimana pandangan dan praktek homopobia sebetulnya telah berlangsung berabad-abad silam di Eropa. Dan tentu saja memiliki hubungan yang erat pada bagaimana praktek kekuasaan dijalankan dengan mengindahkan nilai-nilai demokrasi dan ketuhanan. Tafsir agama yang sepihak lantas mempengaruhi penerapan hukum formal terhadap tata kelola wilayah atau negara. Hukuman mati bahkan pernah dijatuhkan bagi mereka yang diketahui atau diduga sebagai kelompok homoseksual (LGBTIQ secara umum). Kejahatan berdasarkan kebencian (hate crimes) ini mencapai puncaknya pada masa kekuasaan diktator Adolf Hitler. Selain orang Yahudi, Gipsi, dan Slavia, Hitler juga menjadikan kelompok LGBTIQ, khususnya gay, sebagai target buruannya. Di kamp pengungsian, mereka mengenakan lencana segitiga berwarna merah jambu (pink triangle) yang disebut sebagai badge of shame untuk mempermalukan kelompok LGBTIQ secara fisik, emosional, dan sosial. Diprediksi sekitar puluhan ribu mereka yang LGBTIQ atau diduga sebagai LGBTIQ mengalami penangkapan, penyiksaan, pembunuhan, dan pembantaian pada rentang waktu 1933-1945.
Pada akhir abad ke-19 pula, perhatian dunia kedokteran dan psikiatri mulai melakukan penelitian tentang homoseksualitas. Ada anggapan bahwa pelabelan terhadap kaum LGBTIQ sebagai “orang sakit” menjadi lebih beradab ketimbang pendosa atau pelaku kejahatan (aktivitas homoseksual dianggap sebagai perbuatan dosa karena tafsir agama dan perbuatan kriminal karena dicantumkan pada hukum pidana suatu negara/wilayah). Namun tahun 1973, disimpulkan bahwa tak ada data empiris yang ditemukan untuk mengindikasikan homoseksualitas sebagai penyakit. Maka tahun 1974, American Psychiatric Association setuju untuk menghapus homoseksualitas dalam kelompok Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM). WHO juga secara resmi menyatakan bahwa homoseksual, biseksual, dan transgender/trans-seksual bukanlah penyakit atau gangguan kejiwaan pada 17 Mei 1990. Pada konteks Indonesia, UUD 1945 pun telah menegaskan setiap warga negara berhak diperlakukan secara adil dan setara, tanpa kekerasan-diskriminasi dalam bentuk apa pun!
Pengalaman Kawan-kawan
Usai menonton film berdurasi 155 menit tersebut, Suara Kita mengajak kawan-kawan yang datang untuk berdiskusi dengan Agustine (Ardhanary Institut) sebagai narasumber.
Agustine mengawali obrolan dengan memaparkan kondisi yang bertolak belakang antara situasi yang terjadi di Barat dan Timur pada umumnya terkait nilai-nilai terhadap keragaman seksualitas manusia. Ketika sebagian besar negara Barat dilanda oleh arus kebencian kolektif terhadap kelompok LGBTIQ, justru kita yang menjadi bagian dari budaya Timur pada mulanya hampir tak mengenal konsep homopobia. Bahkan pada banyak tradisi, sikap hormat dan penghargaan tertinggi justru diberikan kepada kelompok LGBTIQ yang dipandang dekat dengan unsur ilahi yang androgini, seperti Dewa/Dewi Ardanari yang androgini, Bissu pada masyarakat Bugis, dan lainnya. Diskusi pun dipenuhi dengan cerita-cerita tentang pengalaman kawan-kawan yang bercorak serupa dengan apa yang dialami Alina dan Voichita dalam Beyond the Hills. Banyak dari kelompok LGBTIQ kini masih sering dianggap “sakit,” sehingga perlu disembuhkan dengan cara-cara yang sangat tidak rasional, tidak spiritual, tidak alamiah, maupun tidak ilmiah (scientific).
Seorang kawan bercerita tentang pengalaman kawan lain yang dibawa ke dukun oleh orangtuanya karena menjadi gay. Ada pula kawan yang dibakarkan dupa, mandi kembang, dan diruwat dengan jampi-jampi oleh ibunya yang mulai khawatir dengan orientasi seksual dan indentitas seksual maupun identitas gender anak perempuannya. Hal serupa juga sempat dialami kawan-kawan Suara Kita sendiri yang mengalami diskriminasi ketika berkunjung ke rumah kawan di mana perilaku tidak menyenangkan diutarakan oleh orangtua kawan tersebut ketika menyambut kedatangan kawan-kawan LGBTIQ, hingga menjelang pulang kawan-kawan LGBTIQ diberikan “hadiah” oleh orangtua tersebut berupa kumpulan ayat kitab suci yang konon bisa “menyembuhkan” kaum LGBTIQ menjadi “normal” (hetero). Adegan-adegan unik, lucu, memprihatinkan, dan juga membuat sedih ini sampai sekarang masih terjadi di tengah kemajuan gerakan HAM yang pula disertai dengan gerakan fundamentalisme agama. Banyak dari kelompok LGBTIQ justru menghadapi sikap dan perilaku homopobia dari keluarga terdekat. Tak sedikit pula dari kita yang menerima tindak kekerasan fisik, non-fisik, dan seksual karena memiliki orientasi dan identitas yang berbeda. Penolakan dari seorang ayah kawan yang bercerita sore itu, bahkan diekspresikan dengan pukulan, kekerasan verbal, dan hukuman lain yang berlandaskan kebencian.
Sebagian dari kita mungkin pernah menuruti serangkaian prosesi yang mengganggu itu karena menghindari perkelahian dengan orangtua. Sebagian lainnya terang-terangan menolak dan mungkin berujung pada relasi yang semakin rumit dan menyakitkan dengan orangtua atau anggota keluarga lainnya. Namun, sulit untuk membayangkan dampak yang lebih buruk lagi dari peristiwa ini. Pada film Beyond the Hills, Alina sampai harus mengalami praktek pengusiran roh jahat yang menyakitkan di mana ia dipasung (diikat pada papan salib) dan puasa mutlak (tidak makan-minum) selama berhari-hari. Hal yang tak kalah hebatnya, juga dialami Voichita dengan pergolakan batinnya melihat kekasihnya disiksa, memiliki rasa bersalah seumur hidup, dan menerima tuntutan hukum pidana.
Berdamai dengan Situasi
Tetapi benarkah semua atas nama cinta? Seorang anak LGBTIQ rela menuruti sikap dan perilaku homopobia orangtuanya karena mencintai orangtua, sementara dalih orangtua memaksa anaknya melakukan hal tersebut juga adalah cinta, sehingga tak ingin menerima anaknya sebagai LGBTIQ. Lalu, bagaimana kita berdamai dengan cinta atas berbagai dalih ini?
Agustine mengungkapkan bahwa sikap orangtua yang homopobia dan cenderung melakukan tindak kekerasan terhadap anak LGBTIQ juga sepatutnya dilihat sebagai korban. Seorang ayah yang gemar melakukan kekerasan dan menolak orientasi maupun identitas seksual anaknya yang berbeda ternyata seringkali dilatarbelakangi oleh tekanan sosial. Ia memendam malu dan menjadi sasaran cibiran tetangga dan keluarga besar tentang orientasi dan identitas anaknya. Terkadang ia pun sulit atau tak mampu memberikan penjelasan-penjelasan tentang apa itu seksualitas atau LGBTIQ kepada orang lain. Pada konteks film Beyond the Hills, tekanan ini tampak pada terancamnya kuasa Papa, lelaki pemimpin biara terhadap kepatuhan para biarawati, dengan kehadiran Alina yang melakukan pemberontakan dan upaya penyadaran kritis terhadap pandangan dan praktek-praktek patriarki di biara. Tentu dalam kaitannya dengan homopobia, sangat tidak adil untuk membandingkan rasa cinta anak kepada orangtua (begitu pun sebaliknya) maupun cinta manusia kepada tuhan dengan rasa cinta seorang anak pada kekasih sesamanya.
Mengupayakan suatu supporting system adalah hal yang diperlukan bagi kita. Dan mereka yang memiliki sikap homopobia perlu “disembuhkan” dengan pemahaman-pemahaman. Seorang kawan dalam diskusi berbagi pengalaman dengan mengambil sikap dialog dengan anggota keluarga secara intens dan bertahap untuk menciptakan supporting system dalam keluarga. Pada situasi yang ekstrem, ada pula kawan yang memilih untuk menjaga jarak terlebih dulu. Atau mengajak orangtua yang homopobia untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan LGBTIQ maupun konseling yang khusus membahas isu ini. Setiap individu LGBTIQ pun perlu memperkaya diri dengan pengetahuan dan keterlibatan pada akses-akses pendukung, termasuk komunitas/organisasi LGBTIQ.
Persoalan homopobia memang memiliki kompleksitasnya sendiri. Tetapi ini adalah pula persoalan sosial yang membutuhkan gerakan bersama untuk berupaya mengubah kondisi sosial kita menjadi lebih ramah terhadap kelompok LGBTIQ. Memang sulit untuk mengubah tafsir agama atau doktrin yang terlanjur menghujat LGBTIQ, tetapi bukan berarti sesuatu yang mustahil karena setiap agama juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian terhadap siapa pun, termasuk LGBTIQ sebagai individu.
Film Beyond the Hills yang rilis pertama pada Cannes Film Festival tahun 2012 lalu itu berhasil mendapatkan penghargaan untuk kategori “Best Screenplay” dan diseleksi oleh Academy Awards ke-85 untuk “Best Foreign Language Oscar” atas keberhasilannya memaparkan bagaimana perilaku homopobia telah merenggut hak-hak paling mendasar dari manusia hingga menyebabkan pasangan homoseksual berada pada situasi yang sangat rumit dan tak adil. Alina berakhir dengan kematian karena penyiksaan fisik yang dilakukan oleh kalangan biara, sedangkan Voichita dengan rasa bersalah dan penyesalan yang berujung pada hukuman pidana.
*Penulis adalah lulusan magister manajemen pariwisata di SPS Univ. Sahid. Pendiri www.jejakwisata.com dan tengah menyiapkan sebuah buku esay kajian pariwisata kontemporer.